#Abu Usman Kuta Krueng:
Perlu Wadah Pembinaan Muallaf
(Di sini foto Abu Kuta Krueng, ukuran lk 8 x 6, dengan pakaian khas beliau).
Ulama terkemuka Aceh, Abu Usman Kuta Krueng menilai, pengisian tiga keistimewaan di Aceh – agama, adat-istiadat dan pendidikan – sudah cukup memadai dan menggembirakan.
Namun, dibanding aspek pendidikan dan peradatan, aspek agama masih belum maksimal diisi. “Masih perlu ditingkatkan lagi. Terutama berupa amar makruf dan mencegah kemungkaran”, katanya menjawab Serambi kemarin di halaman Masjid Al-Makmur, Banda Aceh, seusai menghadiri acara peresmian nama-nama jalan dalam kawasan Kodya Banda Aceh.
Memperkuat argumennya, Abu Kuta Krueng menyebut bahwa di beberapa tempat di Aceh masih menonjol kemaksiatan dengan aneka bentuk dan modusnya.
Kemungkaran seperti itu, menurutnya, antara lain karena tipisnya iman. Oleh karenanya ia menyarankan gerakan amar makruf nahi mungkar jangan pernah putus dilakukan di Aceh.
Hal lain yang ia sorot adalah lemahnya pembinaan muallaf di Aceh. Bahwa di daerah istimewa ini cukup banyak orang yang masuk Islam, namun terkesan kurang serius pembinaan akidah yang kita lakukan terhadap mereka.
Padahal, kepada mereka perlu terus diintensifkan pengajaran tentang Islam dengan segala penjabarannya agar dia benar-benar merasakan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Mereka pun para muallaf itu harus digugah untuk mendalami Islam. “Saran saya, mereka harus mengaji dan meningkatkan akan pendidikan keagamaannya. Kita pun harus membantu mereka, selaku saudara baru kita, secara serius.
Apa perlu ada lembaga untuk itu?
‘Ya, perlu sekali,” tegasnya.
Pernyataan HMI
Berkaitan dengan HUT ke- 37 Dista (Daerah Pstimewa Aceh –TA) ini, Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh juga menyorot soal minimnya pembinaan muallaf ini dalam salah satu butir dari 13 pokok-pokok pikiran, yang mereka kirimkan ke berbagai pihak kemarin.
Hasil refleksi tiga halaman itu ditandatangani Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Umum Badko HMI Aceh masing-masing Syamsul Bahri, SH dan Lasminawati.
Menurut mereka, dipandang perlu membentuk wadah khusus, yang tujuannya membina para muallaf yang memeluk agama Islam dengan kesadaran sendiri dengan memberikan ajaran dasar tentang syariat Islam kepada mereka.
Ini karena, cukup banyak orang yang masuk Islam di Aceh, namun kualitas pembinaannya belum menggembirakan.
Selain itu, HMI Badko Aceh mengusulkan perlunya penambahan jam belajar untuk mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah.
Perlu pula ditindaklanjuti dengan sepenuh hati gagasan Gubernur Aceh untuk merekrut santri-pesantren sebagai guru agama di sekolah-sekolah.
Mengingatkan, salah satu keistimewaan Aceh di bidang agama, maka perlu upaya-upaya untuk mensosialisasikan penerapan Instruksi Gubernur Aceh tentang Wajib Baca Qur’an pada sekolah-sekolah di daerah-daerah.
Untuk itu, Pemda Tk II se-Aceh harus memplotkan dana APBD untuk membiayai pelaksanaan Wajib Baca Qur’an tersebut. Untuk itu, instruksi tersebut harus segera ditingkatkan status hukumnya menjadi Perda(sekarang: Qanun–TA).
Di bidang pendidikan, Badko HMI Aceh memandang penting peningkatan mutu pendidikan yang merata di daerah-daerah. Untuk itu, perlu diupayakan kehadiran kelas unggul di setiap Dati II dengan pembinaan yang intensif serta dukungan dana yang berlanjut dari Pemda setempat.
Guru-guru di daerah yang sekalipun telah diberi insentif lebih, namun tetap sering bolos, disarankan HMI perlu ditindak tegas. Berupa pengenaan sanksi administratif atau sanksi pelanggaran disiplin yang justru tengah digalakkan melalui Gerakan Disiplin Nasional (GDN)
“Saran saya, mereka harus mengaji dan meningkatkan akan pendidikan keagamaannya. Kita pun harus membantu mereka, selaku saudara baru kita, secara serius”
Di bidang adat, Badko HMI Aceh menganjurkan perlunya memasyarakatkan pemakaian busna yang lebih pantas dan sopan, khususnya di kalangan wanita Aceh.
“Perlu pula ditingkatkan pembinaan terhadap adat-istiadat kebudayaan Aceh, khususnya dalam upaya meningkatkan rasa memiliki terhadap nilai-nilai adat dan budaya Aceh,” kata Syamsul mengakhiri refleksi Hari Jadi Aceh yang mereka bikin kemarin malam di Sekretariat Badko HMI Aceh.***
(Sumber: Serambi Indonesia, Senin, 27 Mei 1996 halaman 6-7; LAPORAN KHUSUS: HARI ULANG TAHUN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH KE – 37 ( 26 Mei 1959 – 26 Mei 1996)
*Penyalin koran: ( T.A. Sakti, Aleuhad, 1 Molod 1445 TH atawa 1 Rabiul Awal 1445 H bertepatan 17 September 2023 M, poh 18.14 wib. di Bale Tambeh).
#Tambeh: Pekan Kebudayaan Aceh ke VIII (PKA ke- 8), insya Allah akan berlangsung mulai 4 s/ d 11 November 2023. Waktunya tidak sampai dua bulan lagi.
Pada lingkup waktu pelaksanaan PKA itulah, saya berencana membuka kembali “Pengajian Kitab Jawoe Bahasa Aceh” di Bale Tambeh di tempat tinggal saya.
Dalam hal ini, kepada peminat yang ingin turut serta saya mohon untuk mendaftarkan diri lewat nomor WA saya, agar dapat ketahuan berapa orang pesertanya.
Semoga Allah Swt melempangkan jalan bagi terlaksananya niat baik ini, dalam rangka kita menyelamatkan tradisi Islami yang diwariskan para ulama Aceh, yang telah bersusah payah menuliskan kitab-kitab dalam bahasa Aceh, yang kini amat sedikit orang Aceh yang mampu membacanya…..
Sekarang, beratus-ratus naskah huruf Jawi/Arab Melayu/ harah Jawoe dari kitab bahasa Aceh telah digitalisasi oleh pustaka-pustaka di luar negeri seperti Universitas Leiden, Belanda, dari British Library, Inggeris dan lain-lain.
Semuanya dapat dibaca oleh semua peminat di seluruh dunia.
British Library , telah mengdigitalkan 138 naskah kitab dalam bahasa Aceh.
Lewat jam 17.00 wib. kemarin sore dulu, saya dikirimi teman saya Iqbal Hafidh rangkaian digitalisasai manuskrip Aceh dari British Library, ternyata saya tak pintar membukanya.
Tapi saya masih menyimpan hasil print naskah asal British Library pula, hadiah dr. Nabil Berry yang saya terima di Bale Tambeh, 27 Uroe Raya Syawai 1439 TH- 27 Syawal 1439 H alias 11 Juli 2018 M, pukul 18.30 wib.
Kitab karangan Teungku (Tgk.) Chik Di Tiro Syekh Muhammad Saman (Pahlawan Nasional asal Aceh) ini, membahas mengenai Ilmu Tauhid.
Kitab ini membuat saya terheran-heran. Sebab, empat halaman pertama tertulis dalam bentuk prosa bahasa Aceh. Sementara, halaman-halaman berikut sudah tertulis dalam bentuk syair hikayat Aceh berupa Tambeh.
Soalan yang menggantung di batin saya, apakah tempo dulu para pengarang Aceh lebih mudah menulis dalam bentuk syair dibandingkan jenis prosa.
Sementara sekarang ini tradisi itu sudah berobah(?). Atau karya dalam bentuk prosa, belum populer bagi pembaca saat itu (?). Berarti Tgk Chik Di Tiro telah merintis menulis “prosa bahasa Aceh”.
Saya kutip sebaris:”
بسم الله الرحمن الرحيم
ته فوت فوت الله ته داليل فوت الله فوت الله عالم دڠن اسي ينك داليل اتو دري اولن ينك داليل: (Bismillahirrahmanirrahim. Toh Poteu: Potallah. Toh dali Potallah: Poteu Allah, ‘alam deungon asoe nyankeu dali, atawa droe ulon nyankeu dali.
–artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mana Tuhan anda?: Tuhanku adalah Allah. Mana dalil/bukti adanya Allah: Dalil adanya Allah, alam dengan sekalian isinya. Atau diri saya ini adalah dalilnya).
*Youtube: drah aceh berisi 10 edisi rekaman saat kami belajar hikayat “Akhbarul Karim” karya Teungku Seumatang
yang kami laksanakan tempo hari selama delapan bulan, sebanyak tiga kali tamat.
( T.A. Sakti )
Tinggalkan komentar