Bahasa Aceh menurut Orang Australia

Bahasa Aceh Menurut Orang Australia:

Hasil  (reset)  Seorang Mahasiswa  (Australia)

Bahasa daerah  (Aceh) Utara merupakan

Bahasa daerah terbaik di Aceh

Bireuen, 4-5 (Wsp).

Bahasa Daerah Aceh Utara, merupakan bahasa daerah terbaik dibanding dengan seluruh bahasa-bahasa Daerah yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini diungkapkan Mr. Mark Durie,  sebagai salah seorang mahasiswa Jurusan Bahasa Australian National University Canberra dalam suatu wawancara khusus dengan wartawan Waspada di Bireuen baru-baru ini.

Menurut Mr. Mark Durie, dia ditugaskan ke Aceh atas bea siswa Universitas Australia, khusus untuk mempelajari Bahasa Aceh secara mahir, baik dalam bentuk ucapan maupun bentuk ejaan tulisannya.

Dia berada di Aceh sejak bulan Maret yang baru lalu dan melalui Lembaga Bahasa Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, ia telah mempelajari beberapa bahasa daerah di Aceh, antara lain bahasa daerah di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceh Barat/Selatan, Aceh Utara dan Aceh Timur.

Dari perbandingan beberapa bahasa daerah yang terdapat di Aceh, bahasa daerah Aceh Utara merupakan bahasa Aceh yang paling halus, sopan dan terbaik dibandingkan dengan bahasa Aceh yang terdapat di beberapa kabupaten lainnya.

BERMUKIM  DI DESA

Dalam tugasnya di Bireuen (Aceh Utara) untuk mempelajari bahasa Aceh, Mr. Mark Durie, tidak tinggal di kota Bireuen…. melainkan di Desa  Cot Trieng, Bireuen,  namun sudah cukup lancar untuk berbicara dalam bahasa Aceh, maupun dalam bentuk ejaannya sekalipun,  dan keberhasilan dia berbahasa Aceh itu adalah berkat komunikasi langsung dengan segenap lapisan masyarakat yang berdomisili di pedesaan.

Di samping mempelajari bahasa Aceh, Mr. Mark Durie juga telah meriset tentang adat-istiadat dan kebudayaan Aceh, dan cukup merasa kagum atas keutuhan adat-istiadat dan kebudayaan Aceh, yang secara terus-menerus dapat dipertahankan sepanjang masa.

MENGUASAI 9 BAHASA

Mark Durie dalam melaksanakan program Doktor Bahasa tingkat VI, membenarkan dia juga telah menguasai 9 bahasa, antara lain bahasa Jerman terbaru, bahasa Jerman lama 1300 tahun SM, bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Island, bahasa Belanda dan termasuk salah satu diantaranya bahasa Aceh.

Dalam pergaulannya sehari-hari selama bergaul dengan masyarakat Aceh di Bireuen, Mark tidak mengerti untuk berbicara bahasa Indonesia dan tetap berbicara dengan fasih  dalam bahasa Aceh. Dikatakan, dalam melaksanakan program mempelajari bahasa Aceh, ia mendapat visa selama 6 bulan, dan dalam jangka waktu itulah ia berusaha ilmu pengetahuan bahasa Aceh, baik dari kalangan pemuda bahkan orang tua sekalipun.

……………..

sanakan program………. ….. dengan tegas m……

……….. bahasa Aceh. P…  …… pih cukop seunang tinggai di Cot Trieng Bireuen, artinya  tidak ada halangan apa-apa, saya cukup senang tinggal di Cot Trieng, Bireuen.

Masakan Aceh cukop mangat dan cukop teugian watee lon pajoh; artinya Gulai Aceh cukup enak dan cukup ketagihan  waktu saya makan, ucap Mark sambil tersenyum simpul

Masyarakat Aceh juga termasuk masyarakat yang terbaik, dan omong kosong bila ada orang-orang atau bangsa-bangsa negara lain yang mengatakan bahwa orang Aceh itu jahat dan sebagainya, yang benar orang Aceh itu berwatak keras dan  tegas, ujar Mark Durie. (ARD).

( Foto)

Mr. Mark Durie Mhs. Jurusan Bahasa Australian National University Canberra, sesaat menghadiri upacara perkawinan secara adat Aceh di kampung Meunasah Capa,  Bireuen. (Foto: Wsp/A.R. Djoeli).

+ Di beberapa bagian koran WASPADA ini telah robek, karenanya saya berikan …. atau tanda kurung (   ) yang bisa saya perkirakan isi tulisannya.

(Sumber: Harian WASPADA, Medan, Selasa, 5 Mei 1981)

*Penyalin koran: ( T.A. Sakti, malam Rabu, 4 Molod  1445 TH atawa  4  Rabiul Awal 1445 H bertepatan 20  September 2023 M, poh 04.13  wib. di Bale Tambeh).

*Tambeh: A.

 1) Cukup lega batin saya  saat  selesai menyalin berita koran WASPADA-Medan ini, setelah saya “rawat dan manjakannya” lebih 40 tahun (mulai, 5 Mei 1981).

Kliping surat kabar ini berasal dari Keude Kupi Budin yang jauhnya hanya sekitar 20 meter dari tempat tinggal saya di Asrama IPM Sakti, Kampung Keuramat Banda Aceh. Saya berlangganan minum kopi di warung itu bertahun-tahun.

Saat pindah kuliah ke UGM, Yogyakarta akhir tahun 1982, kliping ini bersama bungkusan kliping lain-majalah dan 9 buah buku,  juga saya rayueng (bawa) kesana.

Ketika saya mengalami musibah lalulintas saat pulang KKN-UGM,  25 Puasa 1405 H/15 Juni 1985 M, dan harus berobat patah selama tujuh bulan di tiga rumah sakit di Yogya dan Solo, dan dilanjutkan  dengan 4 tabib di Sroyo-Sragen, Jawa Tengah  dan Yogyakarta; kumpulan kliping saya yang  sudah enam kardus dan 600 lebih buku-majalah, tetap tersimpan rapi di kamar kost saya, Jln. Kaliurang 5, Tawang Sari, Gang Gayam Sari no. 11 F.

Sewaktu berada kembali di kamar kost dengan ditemani  Timbul, kemudian Jumari, keduanya  asal Kabupaten Gunung  Kidul, Yogyakarta; saya merasa “tak sanggup lagi mempraktekkan” semua kliping itu, maka dengan dibantu Jumari, saya memilah-memilih kliping  itu hingga tinggal dua kardus, yang di antaranya kliping yang saya salin tadi tetap selamat.

 Lebihannya empat kardus dibakar Jumari di bawah rumpun bambu pada tanah miring di belakang kamar kost saya.

Sewaktu saya balik ke Yogyakarta untuk menyelesaikan Skripsi, setelah berobat  setahun (April 1986 s/d April 1987)  di Rumoh Teungoh, Beutong,Kabupaten  Aceh Barat (sekarang: Nagan Raya); jumlah kliping koran-majalah saya semakin banyak lagi.

Hingga setelah pensiun 1 Oktober 2019, saya hadiahkan kepada Yayasan Ruman Aceh (Rumah Baca Aneuk Nanggroe) Aceh, sebanyak satu becak penuh, yang dijemput sendiri oleh ketua yayasan Bapak Ahmad Arif, asal Jawa Barat.

 Sementara sebagian buku-majalah,  saya hadiahkan kepada Prodi Pendidikan Sejarah FKIP USK,  tempat semula saya beri kuliah selama duapuluh sembilan tahun delapan bulan (1 Februari 1990 s/d 1 Oktober 2019).

Hanya sejumpet (amat sedikit)  kliping koran-majalah, yang masih saya simpan, satu helai diantaranya terkait dengan “kisah  bahasa Aceh yang dikaji Mark Durie dari Australi”  ini.

Saat Tsunami Aceh, 14 Beurapet 1425 TH  atau  14 Zulqaidah 1425 H bertepatan 26 Desember 2004 M, lembaran koran saya yang paling menderita adalah lembaran “Waspada” ini.

Sebagian yang benar-benar rusak, langsung saya seumiyub (kebumikan), bagi yang koyak, berlobang saya jemur hitungan bulan. Sementara lembaran ini cukup memperhatinkan.

Dia tebal, berat nyaris tak boleh kita urus. Tebal dan berat karena di bawah/belakangnya melengket kuat dengan kulit buku dan entah apa yang lainnya. Melekat dengan lumpur tsunami.

Selama belasan tahun, saya tak bisa memisahkannya. Kalau dipaksa akan robek. Baru kemarin saya membuka setengahnya. Ternyata di dalam bungkusan kulit buku ada satu surat yang terlipat rapi, di bawahnya amplop surat. Separuh ke atasnya masih kuat melekat.

Saya masih ingat, ketika sering membenahi kembali semua kliping  ini,  di tahun pertama-kedua peristiwa tsunami. Setiap satu jam memprosesnya, (maaf) air liur kita menjadi warna hijau muda dan baunya menyengat, disertai perih di kepala.

Surat itu bertanggal Meulaboh, 7/2 –’86 ditujukan kepada T.A. Sakti (saya) di Yogyakarta. Sutat ini, berupa balasan buat surat saya yang memintanya mencari alamat tabib patah/sakal putung di Meulaboh, Aceh Barat dan sekitarnya.

Dikatakan, kabar tentang tabib ampuh pernah di dengarnya berada di Beutong, daerah pedalaman yang sangat terpencil. Rupanya, inilah Rumoh Teungoh, yang kemudian,  April 1986 saya ke sana,  lewat informasi lengkap dari orang lain.

Begitulah isi singkat surat penting bagi saya ini, dikirim seorang sahabat yang lama di Yogyakarta, kuliah di Sekolah Tinggi SLB (Sekolah Luar Biasa) di Kali Bayem, arah Godean, Yogyakarta.

Waktu itu, sejumlah putra-putri Aceh kuliah di sekolah itu, dan dari alumni sekolah inilah:  SLB yang ada di Aceh dapat berkembang seperti sekarang. SLB adalah sekolah khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu dan lain-lain.

Di antara mahasiswa tingkat Sarjana Muda itu, ada seorang yang melanjutkan ke tingkat sarjana di Bandung.  Sementara yang lain langsung pulang ke Aceh menjadi guru SLB, di Meulaboh, Banda Aceh, di Bambi, Sigli  dan lain-lain. Satu orang dari mereka mempersunting gadis Kabupaten Bantul, Yoyakarta dan memboyongnya ke Aceh.

Kembali ke kliping yang meuing-ing/menderita itu, yang saya anggap dokumen penting. Sebab, setahu saya amat jarang orang asing yang meneliti bahasa Aceh. Padahal budaya Jawa dan Bali, berpuluh-puluh bangsa Barat mempelajarinya.

Sejauh bacaan saya, setelah era Snouck Hurgronye, Hoesein Djajadiningrat, van Langen dan beberapa orang Belanda lainnya,  yang mempelajari budaya dan bahasa Aceh untuk kepentingan Belanda yang bermaksud menaklukkan Aceh, serta James Siegel dari Amerika Serikat tahun 1960-an, belum ada peneliti luar negeri lain yang mengkaji bahasa Aceh; selain Mark Durie dari Australia.

2) Saya pernah berjumpa dengan Mark Durie di Museum Aceh (Rumoh Aceh), Banda Aceh. Saat itu, saya sedang mengumpulkan info mengenai seluk-beluk “Rumoh Aceh” yang kemudian dimuat dalam Harian WASPADA, Medan, dan masih ada arsipnya.

Beberapa lama kemudian di Australia, Mark Durie bersama Dr. Bukhari Daud, MA  dosen FKIP USK dan pernah jadi Bupati Aceh Besar; menyusun Kamus Bahasa Aceh – Inggris yang menarik buat dibaca, karena lebih kentara perihal kehidupan sehari-hari orang Aceh.

#Tambeh B: Pekan Kebudayaan Aceh ke VIII (PKA  ke- 8), insya Allah akan berlangsung mulai 4  s/ d 11 November 2023. Waktunya tidak sampai dua bulan lagi.

Pada lingkup waktu pelaksanaan PKA itulah,  saya berencana membuka kembali “Pengajian Kitab Jawoe Bahasa Aceh” di Bale Tambeh di tempat tinggal saya.

Dalam hal ini, kepada peminat yang ingin turut serta saya mohon untuk mendaftarkan diri lewat nomor WA  saya,  agar dapat ketahuan berapa orang pesertanya.

Semoga Allah Swt melempangkan jalan bagi terlaksananya niat baik ini, dalam rangka kita menyelamatkan tradisi Islami yang diwariskan para ulama Aceh, yang telah bersusah payah menuliskan  kitab-kitab dalam bahasa Aceh, yang kini amat sedikit orang Aceh yang mampu membacanya…..

Sekarang,  beratus-ratus  naskah huruf Jawi/Arab Melayu/ harah Jawoe dari kitab bahasa Aceh telah digitalisasi oleh pustaka-pustaka di luar negeri seperti Universitas Leiden, Belanda, dari British Library, Inggeris dan lain-lain.

Semuanya dapat dibaca oleh semua peminat di seluruh dunia.

British Library , telah mengdigitalkan 138 naskah kitab dalam bahasa Aceh.

Lewat jam 17.00 wib. kemarin sore dulu, saya dikirimi teman saya  Iqbal Hafidh rangkaian digitalisasai manuskrip Aceh dari British Library, ternyata saya tak pintar membukanya.

Tapi saya  masih menyimpan hasil print naskah asal British Library pula,  hadiah dr. Nabil Berry yang saya terima di Bale Tambeh, 27 Uroe Raya Syawai 1439 TH- 27 Syawal 1439 H alias  11 Juli 2018 M, pukul  18.30 wib.

Kitab karangan  Teungku (Tgk.) Chik Di Tiro Syekh Muhammad Saman (Pahlawan Nasional asal Aceh) ini,  membahas mengenai Ilmu Tauhid.

Kitab ini membuat saya terheran-heran. Sebab, empat halaman pertama tertulis dalam bentuk prosa bahasa Aceh. Sementara, halaman-halaman berikut  sudah tertulis dalam bentuk syair hikayat Aceh berupa Tambeh.

Soalan yang menggantung di batin saya, apakah tempo dulu para pengarang Aceh lebih mudah menulis dalam bentuk syair dibandingkan jenis prosa.

 Sementara sekarang ini tradisi itu sudah berobah(?). Atau karya dalam bentuk prosa, belum populer bagi  pembaca saat itu (?). Berarti Tgk Chik Di Tiro telah merintis menulis “prosa bahasa  Aceh”.

Saya kutip sebaris:”  

بسم الله الرحمن الرحيم

ته فوت فوت الله ته داليل فوت الله فوت الله عالم دڠن اسي ينك داليل اتو دري اولن ينك داليل: (Bismillahirrahmanirrahim. Toh Poteu: Potallah. Toh dali Potallah: Poteu Allah, ‘alam deungon asoe nyankeu dali, atawa droe ulon nyankeu dali.

–artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mana Tuhan anda?: Tuhanku adalah Allah. Mana dalil/bukti adanya Allah:  Dalil adanya Allah, alam dengan sekalian isinya. Atau diri saya ini adalah dalilnya).

*Youtube: drah aceh          berisi 10 edisi rekaman saat kami belajar hikayat “Akhbarul Karim” karya Teungku Seumatang

yang kami laksanakan tempo hari selama  delapan bulan, sebanyak tiga kali tamat.

 ( T.A. Sakti )

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑