Keistimewaan Aceh jangan Sampai Bobol

# Prof. Dr. Ibrahim Hasan:

Keistimewaan Aceh  jangan Sampai Bobol

SEBELUM menjadi Menteri Negara Urusan Pangan, Prof. Dr. Ibrahim Hasan lebih tujuh tahun menjabat Gubernur Aceh. Masa jabatan periode keduanya tak sempat  disempurnakan lantaran  “keburu” dipercaya Presiden Soeharto menjadi anggota kabinet.

(Di sini foto Prof. DR. Ibrahim Hasan, ukuran  lk 8 x 6 dengan pakaian seorang Menteri Negara Urusan Pangan RI, pakai peci dan kaca mata, sedang diwawancarai wartawan Serambi Indonesia)

Semasa memangku jabatan gubernur, Ibrahim Hasan menerapkan konsep kebijakan pembangunan yang sangat menyentuh hati nurani masyarakat. Seperti membangun kembali nilai budaya tradisional, menggairahkan kerajinan dan ketrampilan, seperti tenun Aceh, relief ornamen Aceh dan lain sebagainya.

Bahkan, Ibrahim Hasan tidak segan-segan menggunakan hasil kerajinan daerahnya untuk menyatukan identitas sebagai orang Aceh. Bagaimana pandangannya mengenai sosok Aceh setelah 37 tahun memperoleh status Daerah  Istimewa, ikuti wawancara Serambi berikut ini:

Menurut Anda apa tantangan yang bakal dihadapi Aceh dengan prediket istimewa di era globalisasi ini?

Era globalissi sesuatu hal yang tidak bisa dielakkan siapa pun termasuk daerah Aceh. Suka atau tidak, ia akan ada karena situasi dan perkembangan seluruh dunia menghendaki demikian. Indonesia, termasuk Aceh adalah bagian dari dunia yang bakal harus menghadapi era globalisasi.

Memang ada arus dunia yang baik dan tidak baik, yang begitu leluasa mengalir ke Indonesia. Informasi yang baik selama ini dapat kita pergunakan. Bahkan melalui adanya informasi, orang begitu mudah melakukan komunikasi ke seluruh dunia.

Dampak negatifnya dari globalisasi beragam penyakit-penyakit dunia seperti AIDS bisa datang dan muncul seketika.  Begitu pula nilai-nilai budaya yang tidak kita ketahui, bisa muncul secara tiba-tiba.

Kira-kira apa dampaknya terhadap Aceh?

Aceh akan disusupi budaya global, termasuk cara-cara berpikir global ini semakin sulit dikendalikan. Jika masyarakat Aceh tidak punya pegangan yang kokoh mengenai jatidirinya, tidak mustahil Aceh akan berantakan.

 Sebagai orang Aceh, saya yakin landasannya sudah ada yaitu agama. Kita patut berbangga Aceh sudah punya landasan yang kokoh dengan keistimewaan Aceh.

Bagaimana Anda melihat dengan keistimewaan itu?

Janganlah keistimewaan  Aceh itu gugur karena masuknya arus-arus globalisasi. Dengan prediket ini merupakan  sebuah benteng pertahanan Aceh yang paling akhir setelah Pancasila dan UUD 1945. Negara telah membentengi kita dengan Pancasila dan UUD 1945. Di Aceh, selain UUD 1945 dan Pancasila ada  ketahanan di barisan kedua:  agama, pendidikan dan adat istiadat.

Ketahanan jangan sampai bobol dan terjadi;  berarti habislah jatidiri, martabat dan harga diri Aceh. Martabat dan jatidiri ada dalam keistimewaan Aceh, yakni adat , agama dan pendidikan. Semua itu harus kita lestarikan.

Saya mengimbau jangan lestarikan yang tidak  dimengerti orang Aceh karena khawatir dapat menangkap sinyal-sinyal atau perubahan-perubahan yang masuk.

Seharusnya keistimewaan Aceh itu diapakan?

Jangan dianggap kuno. Kita mau, keistimewaan Aceh itu ditransformasikan ke dalam nalar manusia. Untuk melakukan itu,  perlu orang-orang yang bisa sebagai jembatan.  Keistimewaan Aceh perlu ditransformasikan ke dalam nilai-nilai yang lebih aktual.

Dengan keistimewaan Aceh itu jangan menganggapnya seperti sebuah buku yang hanya disimpan saja – dimana setiap tahun diturunkan karena ada suatu hajatan atau ulang tahun.

Bagaimana dengan budaya Aceh?

Kebudayaan Aceh itu tergantung pada orang-orang  Aceh sendiri yang dapat dilihat dari sifat dan perilakunya. Kalau masyarakat Aceh tidak berusaha keras dalam menunjukkan perilakunya berbuat sesuatu terhadap adat-istiadat Aceh, praktis   tidak akan berjalan.

Bisa disebutkan contohnya?

Salah satu di antaranya pakaian Aceh. Kalau orang Aceh tidak berani memakai pakaian itu dan memodenisir semua itu, tidak akan jalan. Bagi saya ini harus segera dilakukan dan mau tidak mau saya harapkan bisa berjalan.

Ketika saya menjadi gubernur, ada baju dan topi Aceh yang semula kurang dikenal, berbalik menjadi digandrungi daerah lain. Jika orang Aceh merasa takut dengan adat-istiadat Aceh, berarti dia bukan orang Aceh lagi.

Apa ada gejala demikian?

Saya kurang mengikuti secara rutin. Tapi mengenai jatidiri Aceh, saya serahkan kepada masyarakat Aceh. Saya hanya bisa mengimbau dan berharap semua itu tidak pudar dan sirna.

Ketika Anda jadi gubernur, untuk mengangkat  citra Aceh, strategi apa yang dilakukan?

Saya melakukan semua yang berbau Aceh secara aktif. Karena, apa yang saya lakukan menyangkut jatidiri Aceh.  Kalau saya datang dengan jatidiri Aceh, saya pasti disambut bagus. Artinya saya bukan orang lain dan bukan orang baru.

Dengan memakai sarung Aceh, selendang, praktis kita bukan dinilai seperti orang asing.  Jika bukan orang asing,  yang muncul adalah keakraban dan lahirlah kemesraan.

Bagaimana Anda menempatkan adat-istiadat dengan kemesraan?

Keduanya ini harus sejalan.  Keistimewaan Aceh itu, harus dibalut dengan kemesraan. Kemesraan ada etikanya. Antara lain kita harus rukun.  Keistimewaan Aceh itu merupakan hasil sebuah kerukunan, hasil kompromi antara pusat dan daerah.

Jangan membaca keistimewaan Aceh hanya apa yang tersurat dalam arti sempit.  Tapi harus dibaca dalam semangat yang ada di belakangnya. Mendapatkan istimewa bukan mudah bagi kita. Tapi membutuhkan perjuangan yang hebat dan kompleks sehingga melahirkan suatu kerukunan.

( Foto Ibrahim Hasan sedang pidato dalam sebuah acara dengan pakaian Aceh, lebih besar dari foto wawancara)

Bagaimana Anda melihat generasi muda Aceh dengan simbol keistimewaan itu?

Saya akui, akhir-akhir ini banyak generasi muda Aceh yang tidak mengerti semua itu. Sekarang perlu langkah penyuluhan untuk memperdalam jatidiri mereka sebagai orang Aceh.

Orang Aceh itu orang arif. Dengan demikian  pendekatan kearifan dan kedewasaan berpikir, melahirkan sosok orang Aceh yang sebenarnya.

Bagaimana sih harga diri orang Aceh?

Harga diri, martabat dan jatidiri ada pada orang Aceh. Kalau ini hilang, hilang pula jatidiri orang Aceh yang memiliki keistimewaan.

Bagaimana pembangunan Aceh sekarang ini?

Saya tidak mau memberikan komentar. Saya hanya merindukan apa yang saya jalankan selama  tujuh tahun sebagai gubernur ternyata tidak bertentangan dengan pola yang digariskan pemerintah pusat,

Misalnya?

Pengajian. Semua itu saya jalankan sesuai dengan batas-batas keistimewaan Aceh yang oleh pemerintah pusat sangat dihargai sekali.

Apa kunci sukses Anda menjalankan itu?

Tidak bertentangan dengan UUD ‘45 dan Pancasila. Jika setiap tindakan yang kita lakukan berpatokan dengan itu, selamatlah kita dalam menjalankan tugas yang dipercayakan kepada kita.

Kembali pada keistimewaan Aceh, apa yang harus dilakukan?

Keistimewaan Aceh harus berjalan dalam bingkai Pancasila dan UUD ’45. Keistimewaan Aceh itu akan hilang kalau kita sendiri melecehkannya. Orang Aceh dengan orang lain sama saja.

Bagaimana dengan peran ulama dalam pembangunan?

Harus ditumbuhkan. Kalau kita ingin melihat keistimewaan Aceh di belakangnya ada agama ada ulama. Salah, kalau kita hanya cinta pada agama dan tidak cinta pada ulama.

Ulama itu harus dibina secara baik. Di sisi lain ulama harus berpikir dia tidak bisa hidup, kalau tidak ada umara. Tanpa umara seorang ulama tidak bisa berkembang .

 Ulama dan umara tidak boleh bermusuhan dan harus berbaik sangka. Apa yang kurang pada umara bisa disampaikan ulama, begitu pula sebaliknya. Jika ulama dan umara rukun, agama pasti rukun.

Ketika menjadi gubernur, bagaimana Anda merangkul ulama?

Semua itu ada kiatnya.  Ulama itu harus kita hargai.  Seorang ulama, di belakangnya ada wibawa dan kharisma.  Karena itu tangannya selalu dicium murid, santri, dan umatnya. Jangan ulama itu disinggung perasaannya, ulama itu harus betul dijunjung. Semua itu bukan berarti memberinya  pelayanan istimewa, tapi ini hal yang sudah lazim.

Bagaimana Anda melihat sosok ulama Aceh?

Ulama Aceh, jangan disamakan dengan ulama-ulama lain di luar Aceh. Ulama Aceh meupakan ulama pejuang, bukan ulama yang tinggal di rumah atau di pesantren. Apa yang kita terima dan nikmati sekarang ini – merupakan hasil perjuangan para ulama. Ini tidak bisa dihindarkan.

Tanggapan Anda jika Aceh tanpa ulama?

Di Aceh, tanpa  ulama tidak bisa jalan. Mau tidak mau kita harus merangkul mereka.

Berhadapan dengan para ulama bukan merupakan pekerjaan yang gampang. Itu harus ada kiat-kiat. Saya yakin, Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud yang dikenal begitu dekat dengan ulama, pasti ada kiat-kiatnya.

Langkah apa saja untuk menyejajarkan Aceh dengan daerah lain?

Image  yang kurang baik terhadap Aceh tidak ada lagi. Orang Aceh sejajar dengan yang lain. Dalam persaingan, kualitas orang Aceh sama dengan yang lain.

Dengan suksesnya pemilu lalu, apakah memberikan dampak positif?

Tentu. Selama pemilu berlangsung pembangunan di Aceh berlangsung pesat dan sangat memuaskan.

( Foto Ibrahim Hasan yang sedang diwawancarai  dalam posisi lain)

 Semua ini berkat terjadinya  kemesraan antara pemda dengan pemerintahan di pusat. Kemesraan ini harus dipertahankan.

Karena masa depan, bukan milik generasi sebaya saya, tapi kepunyaan generasi muda sekarang ini. Prediket  keistimewaan itu harus terus diperbaharui dan semangat itu harus diberikan kepada generasi muda.

Mengenai potensi alam Aceh?

Anda sudah tahu semua itu. Alamnya cukup potensial dan Aceh sebagai daerah modal. Semuanya lengkap ada di sini. Tidak ada derah lain selengkap Aceh, kecuali Jatim dan Kalbar. Aceh memiliki kekayaan sumber daya alam,  minyak dan gas.

Bahkan organisasai dunia menyebut Aceh merupakan salah satu daerah di dunia terlengkap sumberdaya alamnya. Bahkan, bukan hanya itu, daya iman juga sangat kuat.

Di sisi lain, kita tidak mempunyai sumberdaya manusia yang kuat. Agar semua itu tidak hilang, sektor sumberdaya manusia harus dikembangkan. Lembaga agama dan pendidikan umum harus diperkuat.

Kiat apa untuk mengundang investor agar bisa datang ke Aceh?

Itu bisa dilakukan dengan berbgai cara di daerah. Daerah harus bisa  menawarkan kebolehan-kebolehan Aceh pada dunia luar.

Anda tahu, Pak Syam sekarang sangat intens mengundang investor?

Jelas.

Apa yang dilakukan Pak Syam dalam memimpin daerah tentu memiliki kiat-kiat tertentu. Saya yakin, beliau berusaha sekuat tenaga memajukan Aceh. Tentu menurut gayanya. Jangan banding-bandingkan kepemimpinan saya dengan Pak Syam.

                                                            #Pewawancara Jufri Al-Katiri

(Sumber:  Serambi Indonesia, Senin, 27 Mei 1996 halaman 6-7;  LAPORAN KHUSUS:  HARI ULANG TAHUN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH KE – 37 ( 26 Mei 1959 – 26 Mei 1996)

*Penyalin koran: ( T.A. Sakti, Satu, 30  Safa  1445 TH atawa  30  Shafar 1445 H bertepatan 16 September 2023 M, poh 19.14  wib. di Bale Tambeh).

#Tambeh: Pekan Kebudayaan Aceh ke VIII (PKA  ke- 8), insya Allah akan berlangsung mulai 4  s/ d 11 November 2023. Waktunya tidak sampai dua bulan lagi.

Pada lingkup waktu pelaksanaan PKA itulah,  saya berencana membuka kembali “Pengajian Kitab Jawoe Bahasa Aceh” di Bale Tambeh di tempat tinggal saya.

Dalam hal ini, kepada peminat yang ingin turut serta saya mohon untuk mendaftarkan diri lewat nomor WA  saya,  agar dapat ketahuan berapa orang pesertanya.

Semoga Allah Swt melempangkan jalan bagi terlaksananya niat baik ini, dalam rangka kita menyelamatkan tradisi Islami yang diwariskan para ulama Aceh, yang telah bersusah payah menuliskan  kitab-kitab dalam bahasa Aceh, yang kini amat sedikit orang Aceh yang mampu membacanya…..

Sekarang,  beratus-ratus  naskah huruf Jawi/Arab Melayu/ harah Jawoe dari kitab bahasa Aceh telah digitalisasi oleh pustaka-pustaka di luar negeri seperti Universitas Leiden, Belanda, dari British Library, Inggeris dan lain-lain.

Semuanya dapat dibaca oleh semua peminat di seluruh dunia.

British Library , telah mengdigitalkan 138 naskah kitab dalam bahasa Aceh.

Lewat jam 17.00 wib. kemarin sore, saya dikirimi teman saya  Iqbal Hafidh rangkaian digitalisasai manuskrip Aceh dari British Library, ternyata saya tak pintar membukanya.

Tapi saya  masih menyimpan hasil print naskah asal British Library pula,  hadiah dr. Nabil Berry yang saya terima di Bale Tambeh, 27 Uroe Raya Syawai 1439 TH- 27 Syawal 1439 H alias  11 Juli 2018 M, pukul  18.30 wib.

Kitab karangan  Teungku (Tgk.) Chik Di Tiro Syekh Muhammad Saman (Pahlawan Nasional asal Aceh) ini,  membahas mengenai Ilmu Tauhid.

Kitab ini membuat saya terheran-heran. Sebab, empat halaman pertama tertulis dalam bentuk prosa bahasa Aceh. Sementara, halaman-halaman berikut  sudah tertulis dalam bentuk syair hikayat Aceh berupa Tambeh.

Soalan yang menggantung di batin saya, apakah tempo dulu para pengarang Aceh lebih mudah menulis dalam bentuk syair dibandingkan jenis prosa.

 Sementara sekarang ini tradisi itu sudah berobah(?). Atau karya dalam bentuk prosa, belum populer bagi  pembaca saat itu (?). Berarti Tgk Chik Di Tiro telah merintis menulis “prosa bahasa  Aceh”.

Saya kutip sebaris:”  

بسم الله الرحمن الرحيم

ته فوت فوت الله ته داليل فوت الله فوت الله عالم دڠن اسي ينك داليل اتو دري اولن ينك داليل: (Bismillahirrahmanirrahim. Toh Poteu: Potallah. Toh dali Potallah: Poteu Allah, ‘alam deungon asoe nyankeu dali, atawa droe ulon nyankeu dali.

–artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mana Tuhan anda?: Tuhanku adalah Allah. Mana dalil/bukti adanya Allah:  Dalil adanya Allah, alam dengan sekalian isinya. Atau diri saya ini adalah dalilnya).

*Youtube: drah aceh          berisi 10 edisi rekaman saat kami belajar hikayat “Akhbarul Karim” karya Teungku Seumatang

yang kami laksanakan tempo hari selama  delapan bulan, sebanyak tiga kali tamat.

 ( T.A. Sakti )

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑