Setara, Peran Sejarah Gaharu dan A.Hasjmy

Setara, Peran Sejarah Gaharu dan A.Hasjmy:

*Tambeh: Lebih 40 tahun lalu (1979 – 1980) terjadi polemik sejarah antara tiga orang pelaku sejarah di Aceh. Periode sejarah yang mereka perdebatkan adalah masa perang kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945 – 1949) dan waktu  sesudahnya. Tiga tokoh Aceh yang berbeda pendapat itu adalah:  Syamaun Gaharu, M. Nur El Ibrahimy dan Ali Hasjmy (ketiga tokoh ini juga tersebut dalam wawancara wartawan Serambi Indonesia dengan Dr. M.Gade Ismail, MA dalam judul WA ini).

Dalam masa hampir dua tahun itu, para pembaca koran WASPADA, Medan selalu disajikan polemik itu  pada hari-hari yang telah terjadwalkan. Saya, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah/USK) waktu itu,  siap selalu menunggu datangnya giliran polemik. Saya tinggal di Asrama IPM-Sakti, Gampong Keuramat, Banda Aceh yang jaraknya hanya 20  meter dari Warong Kupi Budin, tempat langganan kopi bagi saya dan kawan-kawan. Setiap pulang kuliah atau ketika  sore, saya sering mampir ke sana membaca koran WASPADA.

Beragam komentar para pembaca terhadap polemik sejarah itu. Sebagiannya sekedar bercanda dan ada pula yang serius. “Jeh diureueng tuha geutanyoe, ka geupeudong dawa lantaran hana sabe weuek!” (Itu, orangtua kita sudah berselisih gara-gara tak sama bagiannya). “Oooo….wab hana saban tumpok” (Oooo…..sebab tak serupa tumpukan di dapat!), celoteh yang lain, sambil ketawa ketika pulang ke asrama.

Sementara bagi yang serius, bilang begini:”Sayang that, ureueng tuha geutanyoe ka geubuka asoe pruet droe, abeh teubuka rahsia” (Amat disayangkan,  para orangtua kita, sudah membuka isi perut sendiri. Banyak rahasia yang terbongkar). Atau “Kon ka meudarah hate teuhlom, baroekon ka tuwoteuh, jinoe ka teuingatteuh geulayi (Berdarahlah hati kita kembali, selama ini sudah kita lupakan, sekarang terkenang kembali).

Bagi saya yang peminat sejarah,  cukup menikmati polemik sejarah itu. Akibat tertarik,  akhirnya saya memiliki  kumpulan polemik di koran Medan itu, yang dihadiahkan orang. Sampai kini, masih saya simpan rentetan polemik sejarah Aceh yang berlangsung lebih dari setahun.

Semasa masih dikandung hayat, tokoh Malaysia keturunan Aceh Tan Seri Sanusi Junid pernah minta pada saya untuk mencetak arsip itu di Malaysia. Namun, mengingat susahnya mengurus izin pada keluarga ketiga tokoh Aceh itu yang diharapkan( yaitu di Jakarta, Medan dan Banda Aceh), membuat niat baik beliau tidak terlaksana.

Di ujung Tambeh, mari kita nikmati hasil wawancara wartawan Harian Serambi Indonesia dengan Dr. M. Gade Ismail, MA. Beliau dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah/USK, pernah menjadi Pembantu Dekan I di FKIP USK.

Setelah menang telak  dalam pemilihan Dekan FKIP USK tahun 2001, lima hari kemudian beliau sakit, dan meninggal dunia sebelum sempat dilantik sebagai Dekan FKIP USK. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Tameudo’a beuluwah kubu, beujeuet asoe Syuruga (Kita do’akan, semoga dilapangkan kubur dan menjadi isi Surga, Amiinn..!.

Pendidikan ilmu sejarah almarhum: 1. Universitas Cendera Wasih- Papua, USK-Aceh, UGM-Yogyakarta dan Universiteit Leiden, Belanda.

# Dr M Gade Ismail MA:

Setara, Peran Sejarah Gaharu dan A Hasjmy

MENURUT Dr Gade Ismail MA, dosen sejarah pada FKIP Unsyiah, ketika kita membicarakan keistimewaan Aceh dan memperingati propinsi istimewa ini, tidaklah bisa dikesampingkan apalagi dinafikan peran Syamaun Gaharu dan Ali Hasjmy sebagai duo  tokoh sentral dalam perjuangan memperoleh status keistimewaan Aceh pada 26 Mei 1959 lalu.

Kedua tokoh tersebut, ujarnya menjawab Serambi Jumat lalu, masing-masing berperan dalam neraca yang setara terhadap upaya perolehan status keistimewaan Aceh.

“Adalah tidak arif bila ada pihak yang menonjol-nonjolkan peran seseorang, sementara mengecilkan peran yang lainnya,” kata Direktur Pusat  Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (P2ISB) Unsyiah ini.

Gaharu dan A.Hasjmy, di mata Doktor Gade Ismail merupakan sosok yang masing-masing punya konstribusi besar terhadap upaya mencarikan jalan kompromi bagi penyelesaian konflik (pemberontakan) DI/TII di Aceh, 37 tahun silam.

Konstribusi tersebut terutama  dalam hubungan dan akses mereka ke pemerintah pusat. Ini dimungkinkan karena Kolonel Gaharu kala itu menjabat Panglima Kodam I  merangkap Penguasa Perang Daerah Aceh, sedangkan A.Hasjmy sebagai Gubernur Aceh.

Karena kedua tokoh ini asli orang Aceh, dan menjadi perpanjangan tangan pusat di daerah. Mereka pula waktu itu yang diberi kepercayaan utama untuk meredakan permusuhan antara DI/TII pimpinan Daud Beureueh dengan republik.

Akhirnya, dengan pendekatan kultural dan agamis, sebagai putra Aceh, kedua tokoh ini bersama Muhammad Isya (Kepala Polisi Sumatera Utara/Aceh ketika itu, red.) datang berunding di pedalaman hutan Meureudu (Pidie) dengan Tgk Muhammad Daud Beureueh yang memimpin pemberontakan terhadap republik, kemudian memposisikan diri sebagai Kepala Negara Pemerintah Negara Islam di Aceh.

Keterlibatan Gaharu dan A.Hasjmy dalam negosiasi itu, kata Gade Ismail menunjukkan betapa setaranya peran mereka untuk mengupayakan jalan damai bagi penyelesaian konflik. Kendati perundingan di Meureudu itu tak langsung membuahkan hasil, melainkan masih diikuti dengan Ikrar Lamteh di Aceh Besar tanggal 7 April 1957, tetapi kedua tokoh itu, sama-sama punya peran setara, sesuai lingkup bidang tugasnya masing-masing.

Oleh karenanya, adalah sangat naif, kata Gade Ismail, bila di kemudian hari ada pihak yang menonjol-nonjolkan peran salah seorang di antara tokoh ini dan satunya lagi terkesan didiskreditkan.

“Saya sangat tidak setuju dengan cara pandang yang mendiskreditkan itu. Saya tegaskan,  mereka adalah dua tokoh sentral Aceh dalam penyelesaian kemelut pada saat itu,” kata lelaki kelahiran Aceh yang menamatkan pendidikan doktornya di Riyks Universiteit, Leiden, Negeri Belanda ini.

Konsepsi Prinsipil Bijaksana

Gade Ismail juga menambahkan bahwa “Konsepsi Prinsipil Bijaksana” yang dicetuskan tahun 1956 lalu, merupakan gagasan strategik yang untuk pertama kalinya dicetuskan  dan dioperasikan oleh Penguasa Perang Aceh di bawah pimpinan Gaharu.

Konsepsi tersebut pada hakikatnya merupakan rintisan jalan atau jalan terobosan untuk memulihkan ketenteraman dan perdamaian di Tanah Rencong melalui cara-cara damai. Lewat gagasan itu Gaharu mengajak para pemimpin DI/TII  agar menyelesaikan masalah “Darul Islam Aceh” dapat diselesaikan secara bijaksana , tanpa bedil dan peluru.

Dalam kaitan ini, ada beberapa pendekatan yang dilakukan pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab atas penyelesaian konflik di Aceh. Mr. Hardi mencatat hal itu dalam bukunya “Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya”, Jakarta, tahun 1993.

Bahwa Gaharu selaku Penguasa Perang Daerah Aceh bersama stafnya telah berkunjung berturut-turut ke daerah-daerah untuk menjelaskan kepada rakyat, khususnya para pengikut DI/TII seperti Teungku Abdullah Ujong Rimba, M. Yusuf, H. Saleh, Teungku Ali Teupin Raya, dan Ayah Daud Tangse bahwa pemulihan keamanan di Tanah Rencong secara damai sangat diperlukan, agar rakyat tidak menderita.

Lewat kontak-kontak yang demikian itu, papar Hardi, maka para pimpinan DI/TII yang sudah “bosan” hidup di hutan-hutan, dapat ditarik untuk memahami  makna dari “Konsepsi Prinsipil Bijaksana”.

Selain itu, Gaharu juga pernah mengirim M.Nur El Ibrahimy (menantu Teungku Muhammad Daud Beureueh) dan Cek Mat  Rahmany untuk menghubungi Daud Beureueh agar mencegah serangan terhadap Kutaraja (Banda Aceh, sekarang).

Sebagai negarawan yang piawai dan netral, Hardi juga mencatat peran A.Hasjmy dalam masa-masa penting itu. Bahwa selesai Hasjmy dilantik jadi Gubernur Aceh tanggal  27 Januari  1957, dengan persetujuan Penguasa Perang Daerah Aceh, ia mengadakan pertemuan dengan Ishak Amin (Bupati Darul  Islam untuk Aceh Besar), A. Jalil (Komandan Istimewa TII) dan M. Ali Piyeung (Kepala Polisi Darul  Islam) di suatu kampung yang bernama Dham. Pertemuan tersebut berlangsung 30 Januari 1957.

Meskipun dengan kata yang “samar-samar”, tulis Hardi, namun mereka juga menginginkan agar  ditemukan “jalan lain” untuk penyelesaian pemberontakan tersebut.

Dan yang juga penting dicatat, kata Hardi, pertemuan Lamteh pada 5 April 1957, kemudian pada 7 April 1957, yang berujung pada lahirnya” Ikrar Lamteh”, tak terlepas dari prakarsa Gaharu dan A.Hasjmy.

Yang terpenting dari isi piagam tersebut bahwa Tanah Aceh yang telah menjadi  “puing” harus secepatnya dibangun kembali. Kemudian, untuk terlaksanakan maksud yang baik itu, pertempuran dalam segala bentuk harus segera dihentikan. Alhamdulillah, sampai kini.***

( Sumber: Harian Serambi Indonesia, Senin, 27 Mei 1996, halaman 6)

Laporan Khusus: Ultah Ke-37 Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

*Penyalin koran: (T.A. Sakti, Seulasa, 26  Safa 1445 TH atawa 26 Shafar 1445 H, bertepatan 12 September 2023 M, jam 09.12 wib., di Bale Tambeh).

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑