Perhimpunan Indonesia Raya di Mesir Berjasa Bagi Kemerdekaan Indonesia

Perhimpunan Indonesia Raya di Mesir, Turut Berjasa  Bagi Kemerdekaan Indonesia

Oleh:  T.A. Sakti

JAUH  sebelum  negeri kita  dijajah bangsa Belanda, jamaah haji dari negeri  ini  yang  pergi ke Mekkah sudah termasuk besar jumlahnya setiap tahun. Di antaranya  ada yang tidak langsung pulang selepas ibadah haji. Mereka menetap di sana beberapa tahun, terutama yang bertujuan menuntut ilmu.  Bahkan tidak jarang pula yang menetap langsung di sana. Tidaklah heran, jika sampai sekarang terdapat tokoh-tokoh negara Arab Saudi yang berasal dari keturunan Indonesia.

Tempat lain yang menjadi tumpuan paling menarik bagi para pelajar kita adalah Kota Cairo, Mesir. Di Cairo; terkenal Univertas Al Azhar yang berusia lebih seribu tahun. Maka, berbondong-bondonglah kaum terpelajar kita menuntut ilmu ke Mesir.

Penjajah Belanda yang sedang menguasai  Hindia Belanda (sekarang: Indonesia), tahu betul peranan yang dapat dimainkan warga Indonesia di sana, bila suatu hari   mereka bersatu. Jauh sebelum hal itu terjadi,  pihak Belanda telah menghamparkan ranjau-ranjau penghalang kearah persatuan itu. Belanda mengawasi mereka dari kegiatan politik.

Pergerakan kebangsaan

Ternyata Belanda tak mampu membendung kegiatan berpolitik para pelajar-mahasiswa kita di Mesir.  Tahun 1923 di Kairo terbentuk organisasi Al-Jamiyatul   Khariyatul Jawiyah (Perhimpunan Kebaktian Jawi). Masa itu, orang-orang asal  Asia Tenggara ( negeri di bawah angin) di sana hanya dikenal dengan nama orang  Jawi. Organisasi ini semakin maju dari hari ke hari, terutama bergerak di bidang sosial.

 Tahun 1926,   Janan Thaib  Ketua Al-Jamiyatul Khariyatul Jawiyah  diutus ke negeri Belanda untuk menjalin hubungan dengan organisasi “ Perhimpunan Indonesia”, yang  ketika itu  diketuai   Muhammad Hatta.  Dari pengiriman utusan ini menunjukkan, bahwa “ Perhimpunan Kebaktian Jawiyah”  di Mesir juga telah bergerak di bidang politik pula.

Tahun 1932,  Perhimpunan Indonesia Raya(PIR) dibentuk di Kairo, diketuai oleh Abdul Kahar Muzakkir. Organisai ini memang tujuannya di bidang politik untuk perjuangan Indonesia. Sebagai saluran menyuarakan aspirasi, mereka menerbitkan beberapa buletin atau majalah seperti Seruan Al-Azhar, Pilihan Timur, Usaha Pemuda dan Merdeka.

Sementara itu, organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia juga dibentuk di Mekkah dan Baghdad(Irak), sebagai cabang dari” Perhimpunan Indonesia Raya”  di Kairo.

 “Perhimpunan Indonesia Raya”  inilah yang aktif berjuang di negara-negara Arab, baik sebelum proklamasi, lebih-lebih ketika memperjuangkan agar kemerdekaan Indonesia diakui pihak luar negeri.

Sahabat Sejati Indonesia

Sekarang,  setiap menjelang tanggal  17 Agustus setiap tahun, kita sering mendengar dan membaca berita-berita sejumlah Presiden dan Menteri luar Negeri  dari negara-negara di dunia mengucapkan selamat atas penyambutan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.

 Lain sekali keadaannya di masa sebelum Indonesia mendapat pengakuan negeri Belanda Desember 1949. Hampir semua negara di dunia acuh tak acuh untuk mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, bahkan tidak jarang negara luar yang berpihak kepada Belanda, terutama Sekutu yang ingin mengembalikan Indonesia kepada kolonial Belanda.

Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak lansung diterima rakyat Indonesia di Timur Tengah. Hal ini karena usaha pihak Sekutu yang menguasai daerah itu, menutup rapat semua saluran informasi. Berita proklamasi baru diketahui setelah salah seorang pimpinan  Perhimpunan Indonesia Raya (PIR);   membaca hal itu di majalah “ vrij Nederland” , dalam bahasa Belanda.

Walaupun belum begitu jelas bagaimana peristiwa besar tersebut terjadi, pihak PIR langsung menghubungi kantor-kantor redaksi koran di Kairo. Maka gemparlah seluruh penjuru Timur Tengah setelah membaca berita kemerdekaan Indonesia dari koran-koran setempat.  Hanya di Timur Tengah, negara Indonesia menjumpai sahabat sejati.

Dapat disebutkan harian-harian Timur Tengah, yang punya jasa besar, turut berjuang di pihak Indonesia masa itu seperti : Harian Al-Ahram,  Al-Misri, Al-Balad, Al-Muqattam(Mesir),   Addifa’, dan As-Syura, milik para Pejuang Palestina, Al-Qabas  (Suriah), Al-Haq (Lebanon), Al-Bilad (Irak) dan lain-lain.

Indonesia butuh pengakuan

Sebagai negara merdeka dan berdaulat, Republik Indonesia memerlukan pengakuan negara lain. Hal ini amat sukar diperoleh Indonesia, karena  masa itu sebagian besar wilayah di benua  Asia dan Afrika masih dalam penjajahan bangsa asing. Hanya beberapa negara Arab yang sudah merdeka. Maka ke Timur Tengahlah harapan itu boleh dituju. Radio Republik Indonesia, Yogyakarta menghimbau pengakuan ke sana:

  “Bilamana negara-negara Arab dan Islam tidak juga  mengakui kemerdekaan Indonesia, negara-negara manakah  lagi yang akan mengakuinya, karena merekalah seharusnya yang tercepat menyatakan pengakuan itu. “,  seruan Radio Republik Indonesia dalam bahasa Arab dari Yogyakarta, yang ditujukan kepada negara-negara Liga Arab yang tengah bersidang di Kairo, Nopember 1946 “( M. Zein Hassan Lc.Lt  dalam bukunya “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri”, Bulan Bintang, 1980, hlm 177).

Setelah semua harapan itu  terkabul, maka delegasi Indonesia berangkat/terbang ke “ Dunia Arab”.

Semasa delegasi masih di Irak, pihak Belanda di Indonesia melancarkan Aksi Militer pertama  (2 Juli 1947). Terhadap kejahatan Belanda ini reaksi rakyat Timur Tengah hebat sekali.

Mesir dan Irak menutup pelabuhan udaranya bagi penerbangan pesawat Belanda. Sementara di setiap kota  Arab terjadi demontrasi protes. Buruh- buruh pelabuhan Port Said Terusan Suez membaikot semua kapal Belanda yang mengangkut serdadu Belanda.

Protes terhadap Belanda  cukup meluas. Sampai-sampai Sekjen Liga Arab, Jenderal Saleh Harb Pasya, Muhammad Ali Atthahir, Habib Bourqiba (pemimpin kemerdekaan Tunisia ) dan tokoh-tokoh Mesir lainnya ikut turun kejalan berdemonsrasi memprotes Aksi Militer itu.

Kebetulan pula, ketika Dewan Keamanan PBB bersidang, yang juga mempermasalahkan konflik Indonesia-Belanda, Jabatan Ketua Sidang saat  itu dipimpin  Faris Al- Khuri dari Suriah. Kedudukan yang menentukan dari salah satu anggota Liga Arab tersebut sangat menguntungkan Indonesia di sidang-sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangs-Bangsa (PBB)

.

Ahmad  Sukarno

Salah satu hal yang jadi masalah “Perhimpunan Indonesia Raya”  dan delegasi Indonesia di Timur Tengah adalah untuk menjawab pertanyaan wartawan tentang pribadi Presiden Indonesia.

Setiap manyinggung nama Presiden Soekarno dalam wawancara dengan para wartawan pasti ada pertanyaan ‘ Apakah ia itu Muslim?.  Kalau bagi Wakil Presiden tidak ada masalah, karena jelas perkataan ; Muhammad Hatta. Untuk menghilangkan   keraguan  rakyat Timur Tengah, para perutusan Indonesia  sengaja menyebut nama Presiden Indonesia dengan   Ahmad Sukarno.

Perlu Anda ketahui, semasa kunjungan Abdulmun’im  sebagai  Utusan Istemewa Liga Arab ke Indonesia;  Bung Hatta dianugerahi Tuhan seorang putri. Untuk mengenang kunjungan utusan itu, Bung  Hatta memberikan nama anaknya;  Farida. Sebagai kenangan kepada Ratu Mesir isteri   Raja Farouk, yang punya saham besar dalam hal ini.

Sungguh amat disayangkan, peristiwa sejarah yang agung ini, tidak pernah dimuat dalam buku-buku Sejarah Nasional Indonesia, yang diajarkan di sekolah-sekolah.  Akibatnya, amat sedikit rakyat Indonesia yang mengetahui sejarah diplomasi bangsanya  sendiri. Sungguh miris!.

*Penulis, peminat sejarah, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie.

(Tambeh: Artikel ini sudah dimuat dalam rubrik “Jurnalisme Warga” Serambi Indonesia pada awal September 2023).

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑