Ketika Semua Orang Aceh Mampu Membaca Al Qur’an!!!

Manusia Aceh

Oleh: T.A. Sakti

 

 

BEK jeuet keu ureueng sek teubee dilikot pinto rumoh gob (jangan jadi tukang kupas tebu di belakang pintu rumah orang). Itu jadi cemeti bagi anak- anak Aceh tempo dulu agar rajin belajar dan mengaji Al qur’an.

Ungkapan itu hanya ditujukan bagi anak lelaki. Sebab di Aceh hanya anak lelaki saja yang diwajibkan mengaji Al qur’an di rumah orang lain ketika menghadiri berbagai acara khanduri malam hari.

         Maka jika seorang anak malas mengaji ke rumah Teungku atau meunasah, seluruh keluarga ikut membujuknya. Tapi jika memang anak itu batat, barulah keluar ungkapan sambil memecutnya dengan rotan. “beudoih!

Jak beuet… bek jeuet keu ureueng sek teubee dilikot pinto rumoh gob.

Dalam pandangan orang Aceh, bertugas mengupas kulit tebu di rumah kenduri itu, kurang terhormat, sehingga sedapat mungkin dihindari. Satu satu cara hanya mampu

membaca Al qur’an. Itulah sebabnya orang tua akan malu bila anak-anak mereka tidak bisa mengaji. Tradisi mulia di Aceh itu berkembang hingga tahun 70-an, di saat orang orang Aceh masih amat murah prilakunya.

          Sepanjang tahun kita disambuti berbagai khanduri, seperti khanduri thon, yang berlaku setahun sekali, khanduri ureueng mate, khanduri peutamat Quru’an,  khanduri khatam, maupun khanduri   hajat dan lain-lain. Dalam setiap kandhuri selalu diisi dengan acara membaca Al qur’an berkelompok secara bergilir. Setiap kelompok paling banyak empat orang. Kesemua kelompok ini akan ikut membaca Al qur’an sejak permulaan sebanyak satu sumon sampai berakhir ayat 157 surat Albaqarah. Tentu anak-anak  sekarang tidak mengerti maksud sumon itu.

Kepada  para  Qari disediakan makanan, di antara menu kerat-kerat tebu yang telah dikupas kulitnya. Yang mengupas tebu itu adalah mereka yang tak bisa  membaca Alqur’an yang duduk di belakang pintu.

          Menjadi tukang kupas tebu itulah, yang dianggap hina oleh masyarakat Aceh. Orang yang ngaji di rumah kenduri dimuliakan. Maka hampir dipastikan, setiap anak orang Aceh, mampu dan fasih membaca Al quran. Inilah gara-gara malu menjadi pengupas kulit tebu.

 

Sekarang Aceh Pelit

          Orang Aceh sekarang sudah pelit; tradisi khanduri sudah langka, punahlah pula pendorong bagi anak anak agar rajin belajar ngaji. Kalau ada kenduri, namun tak mencerminkan tradisi Aceh, apalagi tak lagi diisi dengan menu membaca Al qur’an secara bergilir oleh undangan selama tiga jam lebih. Sekarang, paling-paling hanya membaca Qulhu/Samadiyah maksimal setengah jam sebagai ganti. Bahkan kenduri-kenduri di Aceh sudah pakai ala Eropa. Anak-anak sudah asyik nonton cinema di televisi ketimbang kita suruh ngaji di meunasah.

             Syukur alhamdulilllah, sekarang telah lahir “tata tertib” politik di Aceh, yakni Tes baca Alqruan bagi caleg atau calon pejabat pemerintahan. Seperti ditulis harian Serambi Indonesia (21 Juli 2008), baru-baru ini 13 pasangan ikut tes mengaji.

Ini bagus, mungkin dengan hidupnya qanun ini maka tergantilah “cemeti tukang sek teube”. Maksudnya, seorang ayah atau ibu tentu lebih mantap mengucapkan; “Eh, kalau kamu tak bisa ngaji, nanti tak boleh jadi: calon Bupati atau anggota dewan”. Saya pikir bagi calon pejabat itu tidak hanya diterapkan kemampuan baca Al qur’an, tapi juga perlu dites kemampuan “Membaca dan Menulis huruf Arab Melayu/huruf Jawi atau Jawoe.

Sebab,  awal perkembangan huruf Arab Melayu/ Jawi  berasal dari Aceh yang disebut huruf Jawoe. Kemampuan baca Al qur’an merupakan sisi agama, sedangkan mampu membaca dan menulis Jawoe adalah sisi budaya.

 

Penulis T.A Sakti adalah peminat Budaya Aceh, tinggal di Banda Aceh.

( Sumber: Harian Serambi Indonesia, Minggu, 21 September 2008 halaman 18/Budaya).

2 respons untuk ‘Ketika Semua Orang Aceh Mampu Membaca Al Qur’an!!!

Add yours

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑